Kenekatan @SocialYogaClub
Lain nebengers, lain pula Yoga Gembira atau lebih dikenal
Yogem. Komunitas yang melakukan aksinya setiap Minggu pagi di Taman
Suropati, Menteng, Jakarta Pusat ini bermaksud memasyarakatkan olahraga
yoga.
Yoga yang kerap dikategorikan sebagai olahraga elit, kini bisa
diikuti siapapun tanpa harus mengeluarkan biaya, alias gratis. Seperti
Minggu pagi lalu. Saat suara burung dan paparan hangat matahari menemani
sekitar lima puluh orang yang sudah berkumpul di sisi taman.
Mereka sudah siap dengan pakaian olahraga dan menggelar matrasnya
masing-masing. Bergerak dengan jiwa, menyatukan diri dengan alam. Mereka
tampak tenang. Yang terdengar hanya suara instruktur memberikan aba-aba
untuk setiap gerakan.
Kekhusyukan ini yang kemudian menular pada mereka yang berada di
sekitar taman. Mereka yang datang ke taman hanya untuk jalan-jalan
santai, mengurungkan niat awal. Mereka lalu bergabung, mengikuti yoga
ini.
Adalah Yuddhi Widdyantoro, penggagas komunitas Yogem ini. Pria yang
sudah mengajar yoga lebih dari 20 tahun ini berinisiatif untuk
memperkenalkan yoga kepada masyarakat umum. Ia dibantu rekannya Dandi
Arimurti.
"Kita pikir, yoga itu hanya belum diperkenalkan ke masyarakat. Jadi
kita perkenalkan yoga ke masyarakat umum dan membuktikan haram nggak sih, kalau cuma berolahraga bersama," ujar Dandi.
Ya, beberapa tahun lalu yoga sempat dianggap sebagai olahraga yang
haram dilakukan. Karena ritualnya diidentikkan pada ajaran agama
tertentu. Fatwa yang diberikan oleh Dewan Fatwa Nasional di Malaysia ini
cukup meresahkan para pelaku yoga. Beberapa studio yoga bahkan terancam
tutup karena sepi peminat.
Yuddhi dan Dandi kemudian memanfaatkan ruang publik untuk menggelar
yoga bersama. Awalnya mereka menggunakan beberapa taman di areal
Jakarta Selatan. Seperti Taman Jenggala, dan Taman Pondok Indah di tahun
2009.
Baru di tahun 2010 mereka menetapkan Taman Suropati sebagai tempat
bernaungnya komunitas ini. Alasannya sederhana, taman ini paling
terawat. Di taman inipun mereka tak perlu mengantongi izin khusus.
Kebal diusir
Kegiatan ngumpul mereka tak lantas mulus. Pertama kali menggunakan
Taman Suropati, komunitas yoga ini mendapat protes dari rumah tinggal
Duta Besar Inggris. Pengeras suara yang mereka gunakan sebagai instruksi
dianggap mengganggu.
"Jadi dulu itu ada peraturan tidak tertulis, kalau apapun yang
mengganggu mereka seperti kamera yang menyorot ke arah mereka saja nggak boleh," ujar Yuddhi.
Namun, kelompok ini sudah kadung cinta dengan Taman Suropati.
Mereka tetap melakukan yoga di sana, meski kerap dihampiri dan dipaksa
untuk menghentikan kegiatan.
"Lama-lama berhenti dengan sendirinya aja. Capek juga kali mereka ngusir kita terus," ujar Dandi sambil tertawa.
Pria yang juga bekerja di sebuah perusahaan mesin ini mengaku bahwa
hal tersulit bukanlah pengusiran itu. Ia malah lebih kesulitan
menghimpun anggota. Tapi Yuddhi tak menyerah. Ia hanya bermodal semangat
untuk menularkan manfaat yoga.
"Saya ini dulu cepat marah, punya sakit fisik juga seperti migrain,
liver dan banyaklah. Setelah ikut yoga, semuanya normal. Saya lebih
bisa atasi emosi dan jadi lebih sehat. Itu yang ingin saya bagi," papar
Yuddhi.
Lewat twitter resmi Yogem @SocialYogaClub para pengurusnya menginformasikan jadwal kegiatan dan isu-isu yoga.
"Awalnya cuma lima orang, kita melakukan gerakan-gerakan yoga
disini. Diliatin sama banyak orang, cuek saja. Tapi lama-lama mereka
penasaran dan ikutan," Dandi melanjutkan.
Satu tahun kemudian, Yogem mulai diminati. Selain karena kegiatan
ini tidak dipungut biaya, kegiatan yoga tersebut juga tidak memaksakan
pesertanya untuk rutin mengikuti yoga setiap pekannya.
Dandi menuturkan, ada banyak peserta yang seringkali datang dan
pergi. Alasannya: susah bangun pagi, malas, atau kesibukan yang padat.
Ini manusiawi. Dandi pun pernah terserang virus itu. Ia mengaku tidak
setiap minggu datang untuk latihan yoga. "Kalau saya kan nggak ngajar, saya cuma ikut mengurus yoga gembira. Kalau mas Yuddhi ini yang nggak bisa kalau nggak hadir," ujarnya.
Bagi Yuddhi yoga adalah jiwanya. Ia bahkan mengibaratkan yoga
seperti bernapas. Jika absen yoga, ia merasa tidak bernapas. Saat ia
berhalangan hadir, biasanya dikarenakan ia harus mengajar yoga di tempat
lain. Hal tersebut bukan alasan berhentinya Yogem di Taman Suropati.
Selalu ada instruktur lain yang menggantikan.
Gerimis bubar
Satu lagi yang menjadi kendala gerakan Yogem ini. Mereka sangat
bergantung pada cuaca. Saat cuaca tak mendukung, kegiatan ini pun urung.
Misalkan saja gerimis yang datang tiba-tiba, atau malah hujan yang
tanpa aba-aba.
"Nama lain dari Yoga Gembira kan yoga misbar. Kalau gerimis bubar," ujar Dandi tertawa.
Pernah suatu ketika, langit Jakarta di hari Minggu pagi terlihat
cerah, namun di tengah kegiatan hujan tiba-tiba turun dan mereka
terpaksa menghentikan kegiatan yoga.
"Yang nyebelinnya itu kalau awalnya udah panas kayak gini,
terus tiba-tiba hujan. Kita belum savasana. Savasana itu gerakan
berbaring sambil menenangkan pikiran, biasanya diakhir. Itu penting
supaya tubuh bisa rileks kembali. Nah kalau tiba-tiba hujan, nggak bisa savasana, itu badan nggak enak, jadinya ya udah, pulang aja tidur di rumah," ujarnya tertawa.
Namun Yuddhi dan Dandi menjelaskan, bahwa itulah istimewanya yoga.
Mereka yang beryoga harus mampu menerima kondisi alam. Bagi Yuddhi tidak
ada solusi lain selain pulang ke rumah dan tidur jika mereka tidak
sempat lakukan savasana.
Serba sukarela
Di luar berbagai halangan yang dihadapi, klub yoga ini ternyata
juga mendapatkan sambutan baik instruktur yoga. Dandi menuturkan bahwa
instruktur yoga yang melatih ini tidak dibayar.
"Instruktur yang sudah mengerti makna dari yoga, biasanya tidak
akan masalah dengan bayaran. Saya juga sering menjelaskan bahwa yoga
ibarat pohon yang berbuah, tidak hanya bermanfaat untuk alam tapi juga
untuk manusia," ujarnya.
Yogem juga tidak mengajari jenis yoga tertentu, semua gerakan yoga
diajarkan di sana. Karena menurut Dandi, Yogem bukanlah tempat untuk
belajar yoga, tetapi merupakan tempat untuk berkumpul dan berolahraga
bersama.
Ini mengapa Yogem bisa diikuti siapapun, termasuk awam. Mereka
diajarkan, dibantu saat harus melakukan gerakan sulit, dan saling
berbagi. Persis seperti moto yang dimilikinya, yaitu beryoga,
bergembira, berilmu, beramal.
"Bergembira karena dilakukan dengan menyenangkan, seperti tadi ada
gerakan yang berpasangan. Berilmu karena kita sering lakukan sharing di beberapa sesi. Biasanya diakhir, kalau ada yang mau tanya-tanya kita kasih kesempatan," ujar Yuddhi.
Untuk butir terakhir, yakni amal, mereka melakukannya dengan
mengumpulkan sumbangan dari para peserta yoga yang kemudian digunakan
untuk kegiatan sosial.
0 komentar:
Posting Komentar