Kamis, 09 Mei 2013

Tak Ada Jenderal yang Hebat Tanpa Prajurit yang Hebat

Di sepenggal waktu di bulan Desember tahun lalu, dalam nuansa Natal yang ceria di Italia, Antonio Conte bertutur: "Ho dei calciatori speciali che fanno cose straordinarie: avendo loro non ho paura di niente, ed e giusto coltivare il sogno e ottenere sempre il massimo". ("Aku punya sejumlah pemain spesial yang melakukan banyak hal luar biasa. Dengan mereka kami tak takut pada siapapun, menghargai mimpi dengan tepat, dan Anda selalu memperoleh maksimal.")

Sukses Conte merengkuh gelar Scudetto bersama pasukan "Nyonya Tua" dalam dua musim beruntun sangat mengesankan. Itu pencapaian luar biasa; gelar juara yang datang sebagai jawaban tepat atas keterpurukan Juventus di musim-musim sebelumnya; kesempurnaan hasil bagi kemauan mengubah bentuk dan level tim; serta meniupkan angin perubahan dalam lingkup lebih luas: sepakbola Italia.

Mantan kapten Bianconeri itu memiliki darah 'Putih Hitam' yang kental. Ketersiksaan yang dialaminya saat jauh dari pinggir lapangan semasa menjadi terhukum akibat tuduhan keterlibatannya dalam skandal Calcioscomesse. Tidur malamnya tidak pernah nyaman, justru di saat seluruh elemen Juve bergembira terus memimpin di Serie A dan sedang menikmati kemegahan Eropa di bawah kendali para asistennya.

Kini keresahan yang menyiksanya dulu berlalu sudah, usai kemenangan atas Palermo 1-0 di Juventus Arena, tadi malam (5/5). Kemenangan yang berganjar penyematan gelar Scudetto ke-29. Conte disambut layaknya jenderal besar yang memenangkan perang mega, serupa sambutan musim lalu saat membawa Juve jadi yang tertangguh di Italia tanpa terkalahkan, dan mengembalikan Juve ke habitatnya di Eropa. DNA Juventus sukses diinjeksikan kembali buat tim yang sempat luntur di dua musim sebelum kedatangannya [terdampar di posisi ke tujuh secara beruntun].

Bisa dikatakan Conte sedikit beruntung memiliki tim yang berisi sekumpulan pemain spesial seperti pengakuannya di atas. Dia sangat detil mengeksploitasi setiap kemampuan para pemainnya itu.

Datang di awal musim pertamanya dengan patron 4-2-4, namun tak tega dengan talenta brilian Arturo Vidal, Conte lalu mengubahnya menjadi 3-3-4. Ia mengakomodasi kemampuan Vidal, mengoptimalkan peran sentral pergerakan si metronom Andrea Pirlo, setia dengan kualitas Simone Pepe dan Claudio Marchisio, serta mengeksplorasi lebih dalam ketangguhan trio bek tengah Italia: Giorgio Chiellini, Andrea Barzagli dan Leonardo Bonucci.



Masuk musim ini dengan konsentrasi yang wajib terbagi ke Eropa, Conte lalu mematenkan formasi 3-5-2 yang sudah dieksperimenkan dalam beberapa laga jelang akhir musim sebelumnya. Pilihan itu penuh pertimbangan taktis karena kekokohan trio bek Italia itu, plus faktor bagusnya Kwadwo Asamoah, pulangnya Giovinco ke Vinovo, dan cedera akut yang diderita Pepe, serta kecerdasan mengasah ketajaman lini depan. Ia kemudian mencoba lagi pakem baru 3-5-1-1 dalam empat laga terakhir (yang semuanya dimenangi, tanpa kebobolan), demi satu tempat bagi maksimalisasi demonstrasi kemampuan Paul Pogba di tengah.

Dengan varian taktik dan formasi yang mengusung pola penyerangan ultra ofensif, Conte berupaya 'menjauhkan' Juventus dari kebiasaan lama sepakbola Italia. Ia berhasil membawa armada "Zebra" menguasai Capolista sejak giornata pertama hingga kepastian juara dengan tim yang paling konsisten menjaga eksistensi dan keseimbangan permainan.

Juventus menjadi yang terbaik di Serie A, terbaik dalam bertahan (kebobolan 20 gol) dan terbaik dalam menyerang (67 gol). Mereka mengemas 26 kemenangan, 5 hasil imbang dan 4 kekalahan untuk mengunci gelar juara walaupun kompetisi masih tersisa tiga pekan.

La Vecchia Signora juga sempat memukau di Eropa dengan menendang keluar juara bertahan Chelsea di fase grup, sebelum dihentikan tim tertangguh Eropa musim ini: Bayern Munich. Dua kekalahan dari klub Jerman itu melengkapi tujuh kekalahan yang telah diterima Juve di musim ini. Lima lainnya dari Inter (1-3), Milan (0-1), Sampdoria (1-2) dan Roma (0-1) di Serie A, serta Lazio (1-2) di Coppa Italia.

Ya, Conte memang beruntung sebagai jenderal yang memiliki sepasukan prajurit yang tangguh. Dia teramat mirip dengan Publius Cornelius Scipio, satu dari para jenderal besar sepanjang sejarah Romawi yang dikenal dengan sebutan Africanu. Ia memenangi begitu banyak pertempuran hebat, satu-satunya jenderal Roma yang tidak tersentuh kekalahan.

Hal lain yang memiripkan Publius Scipio dengan Conte adalah kecerdasan menerapkan strategi pertempuran. Scipio terkenal dengan kemenangan taktisnya atas Hannibal Barca dari Hispania di Wilayah Carthaginia 19 oktober 202 SM dalam pertempuran Zama yang melegenda itu.

Conte gagal mengikuti jejak kehebatan jenderal terbesar bangsa Romawi, Gaius Julius Caesar, yang membangun jembatan sepanjang 460-1,300 kaki dan lebar 23-30 kaki hanya dalam tempo 10 hari untuk menyeberangi sungai Rhine di tahun 55 SM, dalam upaya penaklukan Bangsa Aria (Jerman). Kekalahan Juve dari Bayern Munich telah membangunkan Conte dan para prajurit tangguhnya dari mimpi indah.

Kekalahan yang wajar, walaupun perbedaan kualitas kepelatihan Jenderal Conte dengan Jupp Heynckes tidak terpaut jauh, tetap saja pengalaman memimpin tim di duel-duel besar terutama kejelian mencari solusi mengejar ketinggalan, mereka dipisahkan teramat jauh. Gambarannya terukir jelas di final Liga Champions 1998. Ketika Heynckes merebut trofi pertamanya, Conte hanyalah seorang pemain cadangan di laga tersebut.

Juventus mendapatkan pelajaran luar biasa dan sudah siap kembali ke Eropa musim depan dengan daya gempur yang lebih hebat, bermodalkan raihan Juara Liga Lokal dan sejumlah perubahan taktis.

Runtuhnya la Fidanzata D'italia di Eropa disikapi dengan dingin oleh Conte yang tidak sedikitpun mengendurkan kerasnya latihan dan tempaan kepada para pemainnya untuk mengejar target utama musim ini: mempertahankan Scudetto. Kehebatan sang allenatore membuahkan hasil indah di hari yang akan selalu dikenang. Mereka berpesta usai kemenangan atas 'perang' semusim yang sudah dilalui dengan berdarah-darah, termasuk perang 'melawan' tradisi lama sepakbola italia.

Kemenangan ini mungkin hanya menjadi euforia masyarakat kota Turin, melainkan juga kegembiraan seluruh negeri Italia. Sebabnya, Conte mempertontonkan sentuhan baru peragaan sepakbola atraktif, menjaga keseimbangan yang stabil, menciptakan gelombang alur serangan dengan daya tahan atletis yang mumpuni, mengagungkan posession, menunjukkan sebuah kejelasan bahwa catenaccio terbaik adalah menyerang.

Euforia bagi semua Orang, setidaknya bagi mereka yang sejalan dengan pemikiran Conte untuk keluar dari koridor usang catenaccio, bukanlah sebagai pengkhianatan tradisi, tapi untuk menyegarkan kekuatan yang ada, memberi perubahan untuk menyesuaikan kultur kompetitif sepakbola Eropa masa kini. Senada ketegasan pelatih timnas Italia Cesar Prandelli usai kekalahan di Final Euro 0-4 dari Spanyol di Don Bass Arena: "Italia negara yang tua. Banyak hal yang harus diubah. Kami datang untuk berubah, menjalankan ide tanpa terpengaruh oleh hasil."

Sudah seharusnya sepakbola Italia berubah, dan Jenderal Antonio Conte yang hebat telah melakukannya bersama pasukan Bianconeri-nya yang hebat dan spesial tanpa sedikit pun rasa takut -- terutama keberanian dalam mengubah tradisi).

Sumber
lazada indonesia