Gurita pasifik raksasa yang telah mati 50 tahun itu kini beristirahat
dalam tangki 40 liter yang berisi larutan etanol. Tetangga sebelahnya
berasal dari Atlantik: koloni tunicata dalam stoples, pendar
biru-hijaunya telah lama pudar. Karang dan alga bermekaran di atas rak.
Untaian siput Tahiti bergantungan di cantolan.
Ada pula lemari, semuanya berjumlah 230: lemari buatan khusus yang kedap dan berpengatur udara ini menyimpan sepuluh juta spesimen moluska. Sebagian besar diperoleh melalui ekspedisi ke tempat jauh yang dipimpin oleh orang-orang seperti Ernest Shackleton, Meriwether Lewis dan William Clark, Gifford Pinchot, serta William Bartram.
Kami berada di Academy of Natural Sciences di Philadelphia. Untuk menuju ke tempat ini, kita harus melalui dua koleksi lain, naik tangga setengah tingkat dari bagian entomologi, yang penuh laci berisi kumbang pel dan empat juta serangga lain yang diperoleh dari semua negara di muka bumi, lalu melewati koleksi pilihan benda purba—ikan berkaki dari periode Devon, gigi mastodon milik Thomas Jefferson, lempeng kerangka Ichthyosaurus dari Inggris.
Bicara soal penemuan, biasanya kegiatan eksplorasilah yang lebih mendapat perhatian. Padahal, penemuan spesimen di lapangan baru langkah pertama. Sisanya dilakukan di sini, di balik tembok museum, di tengah koleksi yang dirawat dengan cermat. Di sinilah spesies dideskripsikan, diberi nama, dilabeli, dan dikatalogkan, tidak jarang sekian puluh tahun setelah ditemukan. Di tempat ini, ilmuwan mengungkap rahasia baru dari tanaman dan hewan masa lalu. Semua spesimen yang telah mati hidup kembali dalam bentuk data fisik, molekul, dan isotop yang menyibak tabir evolusi sampai ekologi, ruaya sampai bahan kimia.
Menurut pejabat senior, penulis dan sejarawan Robert McCracken Peck, Akademi ini didirikan pada 1812 oleh naturalis amatir. Itu menjadikannya museum sejarah alam tertua di belahan bumi barat.
Sejak dahulu kala, manusia biasa mengumpulkan barang. Entah itu warisan masa berburu dan meramu, kebutuhan akan keteraturan di tengah kekacauan, atau keinginan sederhana untuk memiliki sesuatu. Kecintaan akan harta benda memang tertanam dalam jiwa manusia. Namun, berbahaya kalau berlebihan. Dalam pandangan penimbun kompulsif, tidak ada benda yang tidak bernilai. Ada pula yang tergila-gila pada satu hal saja. Pada 1869, pencinta buku Sir Thomas Phillipps menyatakan bahwa dia harus "memiliki satu eksemplar setiap buku di dunia." Bagi para fanatik, tulis teoretikus evolusi Stephen Jay Gould, "gairah mengumpulkan merupakan pekerjaan purnawaktu, semacam obsesi yang bermanfaat."
Obsesi itulah yang menjadi cikal bakal kisah kita. Pada abad ke-16, Renaisans Eropa mulai berhubungan dengan dunia luas. Saat itu, keluarga kerajaan dan bangsawan (bayangkan keluarga Habsburgs dan Medici) yang mengagungkan status, di samping dokter dan apoteker, mulai mengumpulkan beragam koleksi pilihan mereka dalam satu ruangan. Tempat yang disebut Wunderkammern atau lemari keingintahuan, biasanya memamerkan benda yang indah, aneh, dan eksotis: flora dan fauna awetan, instrumen ilmiah, benda seni, serta hasil mutasi genetis.
"Wunderkammern yang bagus harus memiliki buaya awetan, mumi yang diawetkan dengan baik, janin dalam botol (lebih baik kalau berkepala dua), permata dan batu-batuan serta fosil, hiasan kepala Aztec atau pedang samurai, lukisan minyak, dan patung antik," kata Terry Belanger, salah satu penyusun katalog pameran Manhattan baru-baru ini, yang dikuratori kolektor Florence Fearrington.
Dengan kata lain, cikal bakal museum modern adalah upaya memamerkan benda aneh, bukan demi ilmu pengetahuan. Lalu muncullah Carolus Linnaeus, ahli botani Swedia yang gila keteraturan. "Langkah pertama mencapai kebijaksanaan adalah dengan mengenal semua makhluk," tulisnya. Dia menciptakan sistem klasifikasi untuk semua makhluk hidup: nama dalam bahasa Latin yang terdiri atas dua kata, pertama genus, kemudian spesies.
Linnaeus dan Zaman Pencerahan merintis jalan bagi koleksi ilmiah yang sebenarnya, kata Peck, serta peralihan dari koleksi pribadi menjadi koleksi umum pada abad ke-19. Naturalis mulai mengolah spesimen secara cermat dan ketat. Sayangnya teknik pengawetan awal tersebut banyak merusak: Serangga direndam dalam alkohol, ular diisi jerami, kerang direbus lalu dikirim terbungkus serbuk gergaji. Spesimen tersebut mungkin juga mengandung racun.
Saat ini, kata Peck, spesimen tidak lagi dibakar untuk membersihkannya dari jasad renik; tinggal dibekukan. Sinar-X dan pindai-CT mikro dapat melihat bagian dalam sampel tanpa merusak. Udara tempat penyimpanannya dijaga agar selalu konstan. "Suhu 18 sampai 21 derajat Celsius dan kelembapan relatif sekitar 40 persen ideal untuk koleksi sejarah alam," ujar seorang spesialis burung di Smithsonian Institution, Christopher Milensky. Di tempat ini "kebudayaan kita menyimpan pengetahuan alam dalam bentuk tiga dimensi," kata Kirk Johnson, direktur National Museum of Natural History Smithsonian beserta 126 juta spesimennya. "Ini gudang harta, tempat keramat."
Sekaligus mesin waktu. Dengan menggunakan data dari fosil burung, ahli ornitologi Smithsonian, Helen James, menemukan spesies hewan kepulauan Pasifik yang sudah punah. Karin Bruwelheide, rekannya yang menggeluti antropologi forensik, sedang menyelidiki kematian misterius seorang naturalis abad ke-19 yang bernama Robert Kennicott.
Johnson menyatakan bahwa pekerjaan mutakhir semacam itu semakin kolaboratif berkat digitalisasi koleksi, sehingga museum dapat memiliki katalog spesimen, para ilmuwan dapat bertukar informasi, dan masyarakat dapat mengakses informasi tersebut dari jauh. "Sekarang," katanya, "mungkin saja yang melihat koleksi kami itu seorang prajurit Maasai yang memiliki iPhone."
Tidak berarti data digital bisa menggantikan spesimen yang sebenarnya. "Kita memerlukan koleksi fisik dan digital," kata Daeschler. Setiap spesimen merupakan wujud organisme yang ada pada suatu masa di suatu tempat. Tidak cukup hanya diwakili dengan kata atau gambar." Atau seperti kata Peck, "Jika kami tidak memiliki 18 juta spesimen di sini, tetapi hanya memiliki 18 juta gambar spesimen tersebut, saya tidak yakin ada yang benar-benar peduli."
Johnson sepakat dengan hal itu. "Gagasan besar Darwin adalah bahwa semua makhluk hidup berkaitan satu sama lain," katanya. "Dan hal itu dapat dikisahkan secara nyata oleh koleksi museum. Beberapa spesies tersebut sudah punah. Namun, kami menyimpan DNA-nya di sini. Kamilah juru kunci pengetahuan planet ini."
Ada pula lemari, semuanya berjumlah 230: lemari buatan khusus yang kedap dan berpengatur udara ini menyimpan sepuluh juta spesimen moluska. Sebagian besar diperoleh melalui ekspedisi ke tempat jauh yang dipimpin oleh orang-orang seperti Ernest Shackleton, Meriwether Lewis dan William Clark, Gifford Pinchot, serta William Bartram.
Kami berada di Academy of Natural Sciences di Philadelphia. Untuk menuju ke tempat ini, kita harus melalui dua koleksi lain, naik tangga setengah tingkat dari bagian entomologi, yang penuh laci berisi kumbang pel dan empat juta serangga lain yang diperoleh dari semua negara di muka bumi, lalu melewati koleksi pilihan benda purba—ikan berkaki dari periode Devon, gigi mastodon milik Thomas Jefferson, lempeng kerangka Ichthyosaurus dari Inggris.
Bicara soal penemuan, biasanya kegiatan eksplorasilah yang lebih mendapat perhatian. Padahal, penemuan spesimen di lapangan baru langkah pertama. Sisanya dilakukan di sini, di balik tembok museum, di tengah koleksi yang dirawat dengan cermat. Di sinilah spesies dideskripsikan, diberi nama, dilabeli, dan dikatalogkan, tidak jarang sekian puluh tahun setelah ditemukan. Di tempat ini, ilmuwan mengungkap rahasia baru dari tanaman dan hewan masa lalu. Semua spesimen yang telah mati hidup kembali dalam bentuk data fisik, molekul, dan isotop yang menyibak tabir evolusi sampai ekologi, ruaya sampai bahan kimia.
Menurut pejabat senior, penulis dan sejarawan Robert McCracken Peck, Akademi ini didirikan pada 1812 oleh naturalis amatir. Itu menjadikannya museum sejarah alam tertua di belahan bumi barat.
Sejak dahulu kala, manusia biasa mengumpulkan barang. Entah itu warisan masa berburu dan meramu, kebutuhan akan keteraturan di tengah kekacauan, atau keinginan sederhana untuk memiliki sesuatu. Kecintaan akan harta benda memang tertanam dalam jiwa manusia. Namun, berbahaya kalau berlebihan. Dalam pandangan penimbun kompulsif, tidak ada benda yang tidak bernilai. Ada pula yang tergila-gila pada satu hal saja. Pada 1869, pencinta buku Sir Thomas Phillipps menyatakan bahwa dia harus "memiliki satu eksemplar setiap buku di dunia." Bagi para fanatik, tulis teoretikus evolusi Stephen Jay Gould, "gairah mengumpulkan merupakan pekerjaan purnawaktu, semacam obsesi yang bermanfaat."
Obsesi itulah yang menjadi cikal bakal kisah kita. Pada abad ke-16, Renaisans Eropa mulai berhubungan dengan dunia luas. Saat itu, keluarga kerajaan dan bangsawan (bayangkan keluarga Habsburgs dan Medici) yang mengagungkan status, di samping dokter dan apoteker, mulai mengumpulkan beragam koleksi pilihan mereka dalam satu ruangan. Tempat yang disebut Wunderkammern atau lemari keingintahuan, biasanya memamerkan benda yang indah, aneh, dan eksotis: flora dan fauna awetan, instrumen ilmiah, benda seni, serta hasil mutasi genetis.
"Wunderkammern yang bagus harus memiliki buaya awetan, mumi yang diawetkan dengan baik, janin dalam botol (lebih baik kalau berkepala dua), permata dan batu-batuan serta fosil, hiasan kepala Aztec atau pedang samurai, lukisan minyak, dan patung antik," kata Terry Belanger, salah satu penyusun katalog pameran Manhattan baru-baru ini, yang dikuratori kolektor Florence Fearrington.
Dengan kata lain, cikal bakal museum modern adalah upaya memamerkan benda aneh, bukan demi ilmu pengetahuan. Lalu muncullah Carolus Linnaeus, ahli botani Swedia yang gila keteraturan. "Langkah pertama mencapai kebijaksanaan adalah dengan mengenal semua makhluk," tulisnya. Dia menciptakan sistem klasifikasi untuk semua makhluk hidup: nama dalam bahasa Latin yang terdiri atas dua kata, pertama genus, kemudian spesies.
Linnaeus dan Zaman Pencerahan merintis jalan bagi koleksi ilmiah yang sebenarnya, kata Peck, serta peralihan dari koleksi pribadi menjadi koleksi umum pada abad ke-19. Naturalis mulai mengolah spesimen secara cermat dan ketat. Sayangnya teknik pengawetan awal tersebut banyak merusak: Serangga direndam dalam alkohol, ular diisi jerami, kerang direbus lalu dikirim terbungkus serbuk gergaji. Spesimen tersebut mungkin juga mengandung racun.
Saat ini, kata Peck, spesimen tidak lagi dibakar untuk membersihkannya dari jasad renik; tinggal dibekukan. Sinar-X dan pindai-CT mikro dapat melihat bagian dalam sampel tanpa merusak. Udara tempat penyimpanannya dijaga agar selalu konstan. "Suhu 18 sampai 21 derajat Celsius dan kelembapan relatif sekitar 40 persen ideal untuk koleksi sejarah alam," ujar seorang spesialis burung di Smithsonian Institution, Christopher Milensky. Di tempat ini "kebudayaan kita menyimpan pengetahuan alam dalam bentuk tiga dimensi," kata Kirk Johnson, direktur National Museum of Natural History Smithsonian beserta 126 juta spesimennya. "Ini gudang harta, tempat keramat."
Sekaligus mesin waktu. Dengan menggunakan data dari fosil burung, ahli ornitologi Smithsonian, Helen James, menemukan spesies hewan kepulauan Pasifik yang sudah punah. Karin Bruwelheide, rekannya yang menggeluti antropologi forensik, sedang menyelidiki kematian misterius seorang naturalis abad ke-19 yang bernama Robert Kennicott.
Johnson menyatakan bahwa pekerjaan mutakhir semacam itu semakin kolaboratif berkat digitalisasi koleksi, sehingga museum dapat memiliki katalog spesimen, para ilmuwan dapat bertukar informasi, dan masyarakat dapat mengakses informasi tersebut dari jauh. "Sekarang," katanya, "mungkin saja yang melihat koleksi kami itu seorang prajurit Maasai yang memiliki iPhone."
Tidak berarti data digital bisa menggantikan spesimen yang sebenarnya. "Kita memerlukan koleksi fisik dan digital," kata Daeschler. Setiap spesimen merupakan wujud organisme yang ada pada suatu masa di suatu tempat. Tidak cukup hanya diwakili dengan kata atau gambar." Atau seperti kata Peck, "Jika kami tidak memiliki 18 juta spesimen di sini, tetapi hanya memiliki 18 juta gambar spesimen tersebut, saya tidak yakin ada yang benar-benar peduli."
Johnson sepakat dengan hal itu. "Gagasan besar Darwin adalah bahwa semua makhluk hidup berkaitan satu sama lain," katanya. "Dan hal itu dapat dikisahkan secara nyata oleh koleksi museum. Beberapa spesies tersebut sudah punah. Namun, kami menyimpan DNA-nya di sini. Kamilah juru kunci pengetahuan planet ini."
Sumber
nationalgeographic.co.id
0 komentar:
Posting Komentar