Negara-negara di dunia saat ini
berlomba-lomba dalam membangun UAV (kendaraan udara tak berawak). Mereka
yakin bahwa UAV akan menjadi alutsista tempur utama di masa depan.
Sebut saja China, India, Iran, Israel, Rusia, Turki dan tentu saja
Amerika Serikat (AS), negara-negara inilah yang saat ini menjadi pemain
dalam bidang ini.
Dari semua penelitian dan pengembangan UAV, sebagian besar dilakukan oleh AS. Namun rancangan desain UAV dari 6 negara lainnya tersebut tidak bisa dipandang sedikit, setidaknya total mereka sudah memiliki 200 lebih desain dan rancangan UAV yang sudah diproduksi dan termasuk juga yang masih dalam tahap pengembangan.
Dari semua penelitian dan pengembangan UAV, sebagian besar dilakukan oleh AS. Namun rancangan desain UAV dari 6 negara lainnya tersebut tidak bisa dipandang sedikit, setidaknya total mereka sudah memiliki 200 lebih desain dan rancangan UAV yang sudah diproduksi dan termasuk juga yang masih dalam tahap pengembangan.
Tidak dipungkiri, AS menjadi pemain besar untuk urusan UAV, setelahnya
baru China dan Israel. Perusahaan-perusahaan China kini sudah memiliki
berbagai rancang desain dan produksi UAV, banyak diantaranya yang mirip
dengan UAV milik AS. Israel juga sudah sejak lama menyuplai UAV untuk
militernya sendiri dan untuk diekspor, dan terus mendesak
pemerintahannya agar lebih agresif mendukung pengembangan UAV. Soal
pengalaman tempur menggunakan UAV, Israel memang tidak kalah dari
Amerika Serikat (mengingat mereka menggunakannya secara intensif
terhadap pejuang Palestina). China juga telah mendorong pabrikan
dirgantara mereka agar melakukan upaya apapun guna mengembangkan dan
menghadirkan pasar bagi UAV buatannya. Untuk mewujudkannya, pemerintah
China banyak menggelontorkan dana untuk pengembangan dan selain itu
banyak teknologi rahasia UAV negara lain (terutama AS) yang diklaim
dicuri oleh hacker China.
Rusia saat ini juga tengah mengembangkan UAV tempurnya sendiri (20 ton) yang akan siap pada 2018. India dan Turki juga mengembangkan UAV, tampaknya mereka memang ingin menunjukkan bahwa mereka bisa membangun UAV, sedangkan untuk Iran, ini memang menjadi keharusan karena sanksi senjata internasional telah menghentikan pasokan alutsista dari negara asing.
UAV yang sudah diproduksi China, India, Iran, Israel, Turki bahkan Rusia saat ini belum dirancang untuk tugas tempur berat, kebanyakan hanya untuk misi pengintaian dan serangan ringan. Sedangkan, teknologi UAV AS telah melompat jauh dengan hadirnya X-47B UCAV (Unmanned Combat Air Vehicle) siluman. Pada akhir tahun 2012 lalu, X-47B Angkatan Laut AS (US Navy) berhasil diterbangkan dengan sistem ketapel. Ini berselang 22 bulan sejak penerbangan konvensional pertamanya. Peluncuran dengan ketapel memang bukan dari kapal induk melainkan dari darat, namun ukuran landasannya dibuat sama persis dengan dek kapal induk dan dilengkapi dengan sistem ketapel. Ini merupakan peluncuran pertamanya dengan ketapel, dan terbukti X-47B bisa mengindari stress karena penggunaan ketapel. Uji coba X-47B lainnya kemudian di kapal induk, namun belum terbang, hanya sebatas memeriksa kemampuan bergeraknya di dek. Pada awal 2013, X-47B berhasil melakukan pendaratan pertamanya dengan menggunakan tail hook (sistem kawat penangkap di kapal induk) di sebuah lapangan udara yang juga dibangun dengan ukuran yang sama seperti dek kapal induk. Uji coba berhasil dan X-47B berhenti dengan sempurna, persis seperti pendaratan di kapal induk. Akhirnya peluncuran yang sebenarnya dari kapal induk terjadi pada 14 Mei lalu, sekaligus pendaratannya.
Rusia saat ini juga tengah mengembangkan UAV tempurnya sendiri (20 ton) yang akan siap pada 2018. India dan Turki juga mengembangkan UAV, tampaknya mereka memang ingin menunjukkan bahwa mereka bisa membangun UAV, sedangkan untuk Iran, ini memang menjadi keharusan karena sanksi senjata internasional telah menghentikan pasokan alutsista dari negara asing.
UAV yang sudah diproduksi China, India, Iran, Israel, Turki bahkan Rusia saat ini belum dirancang untuk tugas tempur berat, kebanyakan hanya untuk misi pengintaian dan serangan ringan. Sedangkan, teknologi UAV AS telah melompat jauh dengan hadirnya X-47B UCAV (Unmanned Combat Air Vehicle) siluman. Pada akhir tahun 2012 lalu, X-47B Angkatan Laut AS (US Navy) berhasil diterbangkan dengan sistem ketapel. Ini berselang 22 bulan sejak penerbangan konvensional pertamanya. Peluncuran dengan ketapel memang bukan dari kapal induk melainkan dari darat, namun ukuran landasannya dibuat sama persis dengan dek kapal induk dan dilengkapi dengan sistem ketapel. Ini merupakan peluncuran pertamanya dengan ketapel, dan terbukti X-47B bisa mengindari stress karena penggunaan ketapel. Uji coba X-47B lainnya kemudian di kapal induk, namun belum terbang, hanya sebatas memeriksa kemampuan bergeraknya di dek. Pada awal 2013, X-47B berhasil melakukan pendaratan pertamanya dengan menggunakan tail hook (sistem kawat penangkap di kapal induk) di sebuah lapangan udara yang juga dibangun dengan ukuran yang sama seperti dek kapal induk. Uji coba berhasil dan X-47B berhenti dengan sempurna, persis seperti pendaratan di kapal induk. Akhirnya peluncuran yang sebenarnya dari kapal induk terjadi pada 14 Mei lalu, sekaligus pendaratannya.
Selama ini US Navy memang bekerja keras guna mendapatkan UCAV yang bisa
lepas landas dan mendarat dari kapal induk. Keberhasilan akan
pengembangan X-47B sebenarnya sudah bisa dinilai pada 2011, kala itu
US Navy menguji coba software pendaratannya, namun bukan menggunakan
X-47B melainkan menggunakan F-18 (berawak), hasilnya F-18 mendarat mulus
di kapal induk dengan kontrol penuh dari software tersebut.
US Navy pertama kali meluncurkan UCAV pada tahun 2008. Pesawat kompak ini memilki rentang sayap hampir 20 meter, dan sebagian sayapnya bisa dilipat untuk menghemat tempat ketika di parkir. UCAV ini mampu membawa muatan hingga 2 ton dan dapat terus terbang di udara selama dua belas jam. Selain AS, yang baru mengembangkan pesawat sejenis adalah Rusia, China dan Israel.
UAV semacam ini juga diartikan sebagai pesawat tempur robot atau sering juga disebut-sebut sebagai cikal bakal pesawat tempur generasi ke-6. Angkatan-Angkatan Udara di dunia makin menyadari bahwa teknologi pilot robot untuk pesawat tempur ini akan cepat datang. Klaim analis UAV, siapapun yang menguasai teknologi ini akan mempecundangi mereka-mereka yang masih mengandalkan teknologi konvensional dalam pertempuran.
US Navy sadar bahwa mereka memerlukan UCAV untuk kapal induknya agar bisa terus bertahan dari senjata-senjata anti kapal yang makin hari makin canggih. Rencanaya, pesawat ini akan beroperasional pada tahun 2018 (Rusia 2018 baru meluncurkan), tetapi komandan-komandan kapal induk AS menginginkan UCAV datang sesegera mungkin. Semua ini dipicu oleh kesadaran bahwa kapal induk AS harus bisa melumpuhkan targetnya minimal di jarak 800 km. Musuh-musuh potensial AS saat ini semakin memiliki pesawat dan rudal dengan jangkauan lebih dari 800 kilometer, ini akan sangat berbahaya. Salah satu solusinya tentu saja UCAV X-47B, yang memiliki jangkauan 2.500 kilometer.
Petinggi-petinggi US Navy bahkan lebih memilih pengurangan pesanan pesawat tempur F-35B dan F-35C untuk selanjutnya dana tersebut digunakan untuk membeli X-47B atau UAV sejenis. US Navy direncanakan membeli 680 unit F-35B dan F-35C dengan kisaran harga AS$ 100 juta masing-masing. Sebuah UCAV harganya bahkan kurang dari setengah itu dengan kemampuan kurang lebih sama, ditambah rentang yang lebih jauh dan tidak ada risiko kehilangan pilot.
Selain untuk misi tempur, pengintaian dan pengawasan, upaya baru dari pengembang adalah agar X-47B juga bisa ditugasi untuk misi serangan darat, seperti yang dilakukan UAV Predator selama lebih dari satu dekade. Muatan semakin banyak plus kemampuan tempur UAV yang kian meningkat telah membuktikan bahwa ini akan menggantikan jet-jet tempur dan pesawat pembom lainnya.
Berat X-47B adalah 20 ton, hanya lebih ringan 4 ton dari F-18A yang 24 ton, dan memiliki dua internal bay yang dapat mengakomodasi dua ton bom pintar. Setelah nantinya beroperasi secara baik dari kapal induk, X-47B akan dikembangkan lagi menjadi pesawat pembom, semacam UAV Reaper. US Navy selama ini terkesan dengan keberhasilan Predator dan Reaper, namun Reaper beratnya hanya 4,7 ton otomatis senjata yang dibawa juga tidak banyak. X-47B yang jauh lebih besar dari Reaper menggunakan mesin F100-PW-220, yang saat ini digunakan pada F-15 dan F-16. Pada dasarnya, X-47B adalah tulen pesawat tempur dalam ukurannya namun tidak dilengkapi dengan pilot di dalamnya.
Angkatan Udara AS (USAF) tidak memiliki "gerak" yang sama dengan US Navy karena kedua Angkatan ini memiliki pandangan yang berbeda mengenai penggunaan UAV. Ketika dekade lalu USAF setuju untuk bekerjasama dengan US Navy soal UAV, maka USAF cenderung lebih bekerja sebagai "pasukan cadangan". Tidak banyak lagi yang bisa USAF lakukan karena US Navy lah dengan jet tempur dan UAV-nya yang terdepan untuk memberikan gelombang kejut kuat dalam serangan, apalagi nanti ditambah dengan penggunaan UCAV.
Alasan penggunaan UCAV sebenarnya cukup sederhana, pilot yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi pilot pesawat kapal induk itu "sangat mahal", ini terkait biaya tinggi dan upaya yang sulit untuk melatihnya. Ditambah lagi, para pilot tersebut mau tidak mau harus terus ada di satuan artinya pilot harus terus "dihidupi" dan dilatih. Selain itu harga UCAV diklaim tidak sampai setengah harga F-35. Maka itulah US Navy yakin bahwa UCAV memang pesawat masa depan untuk kapal induk.
0 komentar:
Posting Komentar