Kebanyakan penduduk Indonesia sendiri
bisa jadi tidak mengetahuinya. Mungkin karena penyakit “Eropa – Amerika
minded” atau menganggap tempe sebagai makanan yang hanya pantas bagi
orang desa, umumnya mereka memandang tempe dengan sebelah mata.
Bahkan kata “tempe” selalu digunakan sebagai ejekan atau pelecehan –
khas Indonesia- , terhadap segala sesuatu yang dianggap murahan atau
mutu rendahan.
Istilah 'mental tempe' atau 'kelas tempe' dulu begitu akrab digunakan
untuk merendahkan, dengan mengacu bahwa hal yang dibicarakan bermutu
rendah karena murah seperti tempe.
Padahal kenyataan dan faktanya – jika mereka mengetahuinya – tempe bukanlah seperti yang serendah yang mereka kira.
TEMPE, pernah begitu popular di Negara-negara Eropa dan Amerika.
Jauh-jauh hari sebelum mereka mengeluarkan ejekan “mental tempe” nya.
Dan bukan karena hal lain, kepopuleran tempe ini tentu saja karena
manfaat dan khasiat hebatnya ( …..sayang mereka belum mengetahuinya…..
).
Tidak seperti makanan tradisional yang berasal dari kedelai lainnya,
yang umumnya berasal dari negeri Cina atau Jepang, tempe memang
benar-benar khas, berasal dari Indonesia.
Namun demikian tidak ada catatan pasti tentang kapan tempe ini mulai
dibuat dan dikonsumsi. Sebab makanan tradisonal ini ternyata telah
dikenal sejak berabad-abad lamanya, utamanya dalam tatanan budaya Jawa,
khususnya di daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Kata “tempe” sendiri telah tertulis dalam manuskrip Serat Centhini,
sebuah manuskrip kuno terkenal dan sering menjadi rujukan dalam
mempelajari budaya dan adat istiadat Jawa, dengan seting pada abad
ke-16.
Bahkan kata "tempe" ini diduga kuat berasal dari bahasa Jawa Kuno.
Karena di jaman Jawa Kuno juga terdapat makanan berwarna putih yang
terbuat dari tepung sagu dan disebut tumpi. Sedangkan tempe yang masih
segar, juga berwarna putih, memiliki kesamaan dengan tumpi tersebut.
Terdapat pula sebuah rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda.
Sumber lainnya mengabarkan bahwa pembuatan tempe diawali pada era Tanam Paksa
di Jawa. Dimana saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil
pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan.
Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin
diperkenalkan oleh imigran Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis,
yaitu koji kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus.
Saat zaman pendudukan Jepang di Indonesia, tawanan perang yang diberi
makan dengan tempe ternyata dapat terhindar dari penyakit disentri dan
busung lapar.
Kemudian sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai
1960-an juga menyimpulkan bahwa begitu banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe.
Tempe kemudian dikenal oleh masyarakat Eropa lewat orang Belanda.
Pada tahun 1895, seorang ahli kimia dan mikrobiologi Belanda, Prinsen Geerlings melakukan identifikasi untuk yang pertama kali pada kapang tempe.
Melalui Belanda pula, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946.
Kemudian tempe menjadi populer di Amerika Serikat, setelah Yap Bwee Hwa pertama kali membuat tempe di sana pada tahun 1958. Yap Bwee Hwa
sendiri merupakan orang berkebangsaan Indonesia yang pertama kali
melakukan penelitian ilmiah tentang tempe. Bahkan di Jepang, tempe sudah
diteliti sejak mulai tahun 1926.
Hingga akhirnya pada tahun 1984 tercatat terdapat 18 perusahaan tempe
di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang. Sedangkan di beberapa negara
lainnya, seperti Republik Rakyat Cina, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada,
Australia, Amerika Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal di
kalangan terbatas.
Maka saat ini, tempe telah mendunia. Bahkan kaum vegetarian di seluruh dunia, dalam pemilihan nutrisi asupan makannya, telah menggunakan tempe ini sebagai pengganti daging.
Akibatnya tempe kemudian diproduksi di banyak tempat di dunia.
Penelitian di berbagai negara, mulai dari Jerman, Jepang, dan Amerika
Serikat termasuk Indonesia saat ini berusaha mengembangkan galur
(strain) unggul Rhizopus untuk menghasilkan tempe yang lebih cepat,
berkualitas, atau meningkatkan lagi kandungan gizi dari tempe.
Sehingga beberapa pihak bahkan sempat khawatir dengan penelitian ini
sebab bisa mengancam keberadaan tempe sebagai bahan pangan yang sudah
jadi milik masyarakat umum.
Sebab galur ragi tempe unggul ini dapat didaftarkan hak patennya,
sehingga penggunaannya dilindungi undang-undang atau harus memerlukan
lisensi dari pemegang hak paten.
Artinya, bahkan Negara-negara maju yang selama ini di”minded” kan ternyata saat ini sudah begitu kepincut-nya dengan tempe.
Maka sudah tidak pantas lagi menggunakan kata “mental tempe” untuk sebuah ejekan atau pelecehan.
Patutnya, saatnya menggunakan “mental tempe” untuk sebuah kebanggaan, KHAS - Indonesia
Sumber
viva.co.id
0 komentar:
Posting Komentar