Di sepenggal waktu di bulan Desember tahun lalu, dalam nuansa Natal yang ceria di Italia, Antonio Conte bertutur: "Ho
dei calciatori speciali che fanno cose straordinarie: avendo loro non
ho paura di niente, ed e giusto coltivare il sogno e ottenere sempre il
massimo". ("Aku punya sejumlah pemain spesial yang melakukan banyak
hal luar biasa. Dengan mereka kami tak takut pada siapapun, menghargai
mimpi dengan tepat, dan Anda selalu memperoleh maksimal.")
Sukses
Conte merengkuh gelar Scudetto bersama pasukan "Nyonya Tua" dalam dua
musim beruntun sangat mengesankan. Itu pencapaian luar biasa; gelar
juara yang datang sebagai jawaban tepat atas keterpurukan Juventus di
musim-musim sebelumnya; kesempurnaan hasil bagi kemauan mengubah bentuk
dan level tim; serta meniupkan angin perubahan dalam lingkup lebih luas:
sepakbola Italia.
Mantan kapten Bianconeri itu memiliki
darah 'Putih Hitam' yang kental. Ketersiksaan yang dialaminya saat jauh
dari pinggir lapangan semasa menjadi terhukum akibat tuduhan
keterlibatannya dalam skandal Calcioscomesse. Tidur malamnya
tidak pernah nyaman, justru di saat seluruh elemen Juve bergembira terus
memimpin di Serie A dan sedang menikmati kemegahan Eropa di bawah
kendali para asistennya.
Kini keresahan yang menyiksanya dulu
berlalu sudah, usai kemenangan atas Palermo 1-0 di Juventus Arena, tadi
malam (5/5). Kemenangan yang berganjar penyematan gelar Scudetto ke-29.
Conte disambut layaknya jenderal besar yang memenangkan perang mega,
serupa sambutan musim lalu saat membawa Juve jadi yang tertangguh di
Italia tanpa terkalahkan, dan mengembalikan Juve ke habitatnya di Eropa.
DNA Juventus sukses diinjeksikan kembali buat tim yang sempat luntur di
dua musim sebelum kedatangannya [terdampar di posisi ke tujuh secara
beruntun].
Bisa dikatakan Conte sedikit beruntung memiliki tim
yang berisi sekumpulan pemain spesial seperti pengakuannya di atas. Dia
sangat detil mengeksploitasi setiap kemampuan para pemainnya itu.
Datang
di awal musim pertamanya dengan patron 4-2-4, namun tak tega dengan
talenta brilian Arturo Vidal, Conte lalu mengubahnya menjadi 3-3-4. Ia
mengakomodasi kemampuan Vidal, mengoptimalkan peran sentral pergerakan
si metronom Andrea Pirlo, setia dengan kualitas Simone Pepe dan Claudio
Marchisio, serta mengeksplorasi lebih dalam ketangguhan trio bek tengah
Italia: Giorgio Chiellini, Andrea Barzagli dan Leonardo Bonucci.
Masuk
musim ini dengan konsentrasi yang wajib terbagi ke Eropa, Conte lalu
mematenkan formasi 3-5-2 yang sudah dieksperimenkan dalam beberapa laga
jelang akhir musim sebelumnya. Pilihan itu penuh pertimbangan taktis
karena kekokohan trio bek Italia itu, plus faktor bagusnya Kwadwo
Asamoah, pulangnya Giovinco ke Vinovo, dan cedera akut yang diderita
Pepe, serta kecerdasan mengasah ketajaman lini depan. Ia kemudian
mencoba lagi pakem baru 3-5-1-1 dalam empat laga terakhir (yang semuanya
dimenangi, tanpa kebobolan), demi satu tempat bagi maksimalisasi
demonstrasi kemampuan Paul Pogba di tengah.
Dengan varian taktik
dan formasi yang mengusung pola penyerangan ultra ofensif, Conte
berupaya 'menjauhkan' Juventus dari kebiasaan lama sepakbola Italia. Ia
berhasil membawa armada "Zebra" menguasai Capolista sejak giornata pertama hingga kepastian juara dengan tim yang paling konsisten menjaga eksistensi dan keseimbangan permainan.
Juventus
menjadi yang terbaik di Serie A, terbaik dalam bertahan (kebobolan 20
gol) dan terbaik dalam menyerang (67 gol). Mereka mengemas 26
kemenangan, 5 hasil imbang dan 4 kekalahan untuk mengunci gelar juara
walaupun kompetisi masih tersisa tiga pekan.
La Vecchia Signora juga
sempat memukau di Eropa dengan menendang keluar juara bertahan Chelsea
di fase grup, sebelum dihentikan tim tertangguh Eropa musim ini: Bayern
Munich. Dua kekalahan dari klub Jerman itu melengkapi tujuh kekalahan
yang telah diterima Juve di musim ini. Lima lainnya dari Inter (1-3),
Milan (0-1), Sampdoria (1-2) dan Roma (0-1) di Serie A, serta Lazio
(1-2) di Coppa Italia.
Ya,
Conte memang beruntung sebagai jenderal yang memiliki sepasukan
prajurit yang tangguh. Dia teramat mirip dengan Publius Cornelius
Scipio, satu dari para jenderal besar sepanjang sejarah Romawi yang
dikenal dengan sebutan Africanu. Ia memenangi begitu banyak pertempuran
hebat, satu-satunya jenderal Roma yang tidak tersentuh kekalahan.
Hal
lain yang memiripkan Publius Scipio dengan Conte adalah kecerdasan
menerapkan strategi pertempuran. Scipio terkenal dengan kemenangan
taktisnya atas Hannibal Barca dari Hispania di Wilayah Carthaginia 19
oktober 202 SM dalam pertempuran Zama yang melegenda itu.
Conte
gagal mengikuti jejak kehebatan jenderal terbesar bangsa Romawi, Gaius
Julius Caesar, yang membangun jembatan sepanjang 460-1,300 kaki dan
lebar 23-30 kaki hanya dalam tempo 10 hari untuk menyeberangi sungai
Rhine di tahun 55 SM, dalam upaya penaklukan Bangsa Aria (Jerman).
Kekalahan Juve dari Bayern Munich telah membangunkan Conte dan para
prajurit tangguhnya dari mimpi indah.
Kekalahan yang wajar,
walaupun perbedaan kualitas kepelatihan Jenderal Conte dengan Jupp
Heynckes tidak terpaut jauh, tetap saja pengalaman memimpin tim di
duel-duel besar terutama kejelian mencari solusi mengejar ketinggalan,
mereka dipisahkan teramat jauh. Gambarannya terukir jelas di final Liga
Champions 1998. Ketika Heynckes merebut trofi pertamanya, Conte hanyalah
seorang pemain cadangan di laga tersebut.
Juventus mendapatkan
pelajaran luar biasa dan sudah siap kembali ke Eropa musim depan dengan
daya gempur yang lebih hebat, bermodalkan raihan Juara Liga Lokal dan
sejumlah perubahan taktis.
Runtuhnya la Fidanzata D'italia
di Eropa disikapi dengan dingin oleh Conte yang tidak sedikitpun
mengendurkan kerasnya latihan dan tempaan kepada para pemainnya untuk
mengejar target utama musim ini: mempertahankan Scudetto. Kehebatan sang
allenatore membuahkan hasil indah di hari yang akan selalu dikenang.
Mereka berpesta usai kemenangan atas 'perang' semusim yang sudah dilalui
dengan berdarah-darah, termasuk perang 'melawan' tradisi lama sepakbola
italia.
Kemenangan ini mungkin hanya menjadi euforia masyarakat
kota Turin, melainkan juga kegembiraan seluruh negeri Italia. Sebabnya,
Conte mempertontonkan sentuhan baru peragaan sepakbola atraktif, menjaga
keseimbangan yang stabil, menciptakan gelombang alur serangan dengan
daya tahan atletis yang mumpuni, mengagungkan posession, menunjukkan sebuah kejelasan bahwa catenaccio terbaik adalah menyerang.
Euforia bagi semua Orang, setidaknya bagi mereka yang sejalan dengan pemikiran Conte untuk keluar dari koridor usang catenaccio,
bukanlah sebagai pengkhianatan tradisi, tapi untuk menyegarkan kekuatan
yang ada, memberi perubahan untuk menyesuaikan kultur kompetitif
sepakbola Eropa masa kini. Senada ketegasan pelatih timnas Italia Cesar
Prandelli usai kekalahan di Final Euro 0-4 dari Spanyol di Don Bass
Arena: "Italia negara yang tua. Banyak hal yang harus diubah. Kami
datang untuk berubah, menjalankan ide tanpa terpengaruh oleh hasil."
Sudah seharusnya sepakbola Italia berubah, dan Jenderal Antonio Conte yang hebat telah melakukannya bersama pasukan Bianconeri-nya yang hebat dan spesial tanpa sedikit pun rasa takut -- terutama keberanian dalam mengubah tradisi).
Sumber
Kamis, 09 Mei 2013
Langganan:
Postingan (Atom)